Kamis, 25 April 2002

pengaws silang

Tidak mudah menjadi pengawas Ujian Nasional (UN) sekarang. Kadang ia dihadapkan pada situasi yang penuh tekanan. Bertindak tegas untuk menjaga nilai kejujuran dalam ruang ujian sungguh tidak mudah.


Alih-alih mendapat apresiasi, yang terjadi justru mendapat caci maki. Apalagi bila ada niatan dari peserta ujian atau panitya penyelenggara di tingkat sekolah untuk mencoba berbuat tidak jujur, konflikpun kadang tak terhindarkan. Belum lagi bila orang tua siswa juga tidak terima dan mengancam pengawas jika anaknya tidak lulus ujian. Gawat kan.


Jadi apa yang harus dilakukan? Tutup mata atas segala bentuk kecurangan yang terjadi. Ini juga tidak mudah. Terutama bagi guru yang masih memiliki hati nurani. Pedih. Terhina. Penuh kesia-siaan. Dihina rekan seprofesi.


Mereka dihadirkan sebagai pengawas dengan tugas utama menjaga ujian dapat berlangsung dengan baik. Agar kejujuran dalam mengerjakan soal ujian bisa diwujudkan oleh seluruh peserta ujian. Tapi mereka tidak diinginkan untuk menjalankan tugas itu dengan benar. Lantas untuk apa mereka dijadikan pengawas ujian ? Supaya ujian sah. Karena ujian sudah menggunakan pengawas silang. Itu saja, tidak lebih.


Memang menjadi gampang jika hati nurani sudah tidak ada lagi. Mengawas UN dengan santai dan rileks saja, tanpa beban. Tutup mata hindari persoalan. Agar hidup tenang. Yang penting di hari terakhir ujian terima amplop lantas tanda tangan. Sorenya bisa jalan-jalan mentraktir pacar atau teman.


Namun inikah yang kita inginkan ? Relakan kita membiarkan para pengawas UN yang notabene adalah para guru itu kehilangan hati nuraninya? Apa jadinya negeri ini jika para pendidiknya tidak lagi memiliki hati nurani ? Sebuah negeri tanpa hati nurani….inilah kita sekarang ini dan nanti.


Artikel ini diambil di


http://erjhe.wordpress.com/


Powered by Zoundry Raven


Powered by Zoundry Raven



Technorati : , , , ,

Del.icio.us : , , , ,

Zooomr : , , , ,

Flickr : , , , ,